Selasa, 30 Maret 2010

Untuk Dia yang Entah Dimana

Oleh : M. Ilyas

Kala itu 4 Maret 2002. Semuanya begitu cepat terjadi dan menyentak. Ya, di sanalah salah satu episode kehidupanku yang mungkin akan terus dikenang sampai maut menjemput. Bagaimana tidak, di antara percaya dan tidak, ternyata saya harus mendekam di dalam sel tahanan. Sungguh, sebuah garis hidup yang tak pernah terlintas di benakku. Pasalnya sederhana saja, saya bukanlah teroris seperti yang mereka gariskan. Saya bukanlah pembuat onar seperti yang mereka minorkan, dan saya bukanlah penjahat yang layak dihujat. Dan saya bukanlah penjagal kakap yang harus ditangkap. Asal tahu saja, menyembelih ayam pun saya belum pernah!!

Kendati demikian, bukan itu yang layak kukenang. Tapi, Allah hadirkan di tengah-tengah kami sosok setengah baya. Dugaanku ia berusia 40 tahunan. Perawakannya tegap, wajahnya teduh, janggutnya melebat, dibungkus jubah yang tak pernah lepas dari raganya. Ia sangat santun, lembut, kerap melempar senyum, dan jauh dari kesan garang, apalagi kejam dan sadis. Tahukah Anda? Kata mereka yang tengah tertawa terbahak-bahak seperti setan di luar sel sana, sosok santun itu adalah teroris berbahaya!! Dagelan yang tak lucu.

"Jangan sedih, insya Allah kalian lekas dibebaskan. Sesungguhnya di balik kesukaran itu ada banyak kemudahan, berdo'alah kepada Yang di atas sana," ujar sosok teduh itu kepada kami yang tengah dililit ketakutan mencekam, keputusasaan yang memuncak dan kekalutan yang menggurita. Bayangkan! Kami dipenjara. Masalahnya adalah, penjara itu identik dengan kekejaman dan penyiksaan.

Lalu, saya ingat betul cerita orang-orang dan di buku-buku ihwal kengerian di penjara politik. Setruman listrik, tendangan dan pukulan yang siap mendarat, hardikan dan teriakan kasar sipir, makanan yang menjijikan, dan intinya adalah hewanisasi insan. Itulah menu harian penghuni sel.

Sontak saja saya berdo'a dengan sepenuh hati. "Ya Allah, selamatkanlah hamba-Mu ini... Ya Allah, jauhkanlah saya dari kekejaman orang-orang zalim... Ya Allah, teguhkanlah hatiku atas cobaan ini..." Dan saya pun terus komat-kamit mengeja lafal do'a di atas.

Jujur saja, sepanjang hayatku, tak pernah saya memohon sesyahdu dan sekhidmat itu. Tapi kali itu, hatiku diseret untuk mengemis kasih-Nya. Asaku bermuara di hulu cinta-Nya. Dan Firman-Nya pun menyentil qalbuku yang gelisah menggulana.

Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan... (An-Naml: 62)

Dan benar saja, Yang di atas sana mendengar jeritan kami. Hanya siksaan mental yang mendera kami. Dikurung di bawah tanah selama tiga pekan tanpa nur mentari. Pengisi perut yang terhidang di ember bak dedak pakan ternak, plus lauk sayuran yang hambar tak berasa, dibalut kepedihan serta nestapa yang menganga.

Dan di saat gamang itulah sosok santun itu kembali menyapa kami. Ia muncul laksana induk ayam temukan anak-anaknya. Kami dirangkulnya. Kami dihiburnya. Ia ajari kami hakikat kesabaran. Ajari kami tentang optimisme. Ceburkan kami ke samudera ketabahan dan ketegaran. Suapi kami dengan lantunan kalam ilahi. Dan yang terpenting, ia ajari kami untuk menangis sembari mengais rahmat-Nya, dalam shalat berjamaah kami, dalam sahur dan ifthar puasa kami, dalam zikir kami dan do'a-do'a parau kami. Geliat yang jarang kami lakukan di luar sel sana. Kami terhenyak, ternyata dunia telah memalingkan kami. Sejatinya kita bercermin diri,

Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak... (At-Taubah: 82)

Saya merenung, jangan-jangan sosok itu tengah menafsir ulang petuah Yusuf as,

"Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku." (Yusuf: 33)

Lalu, saat kami bersiap ke peraduan menjemput mimpi, kulihat sosok itu masygul dengan shalatnya. Selepas Isya hingga larut ia habiskan waktunya untuk shalat dan terus shalat, lalu, tetes air matanya yang meleleh tengah mengiba Tuhannya. Ia tak kenal jemu untuk memohon dan terus memohon. Itulah pemandangan jelang larut malam selama tiga pekan kami mendekam. Sementara saya hanya melongo, berpikir dan memutar otak bagaimana caranya cepat keluar dari penderitaan ini.

Tapi, berkat sentuhan lembut sosok santun itu, ternyata dari hari ke hari, kami lewatkan bersamanya dalam bara tazkiah yang membara. Sehingga jalinan kasih kami mengerat jiwa dan terhimpun dalam cinta-Nya. Ia bagian dari kami dan kami pun bagian darinya. Kami seperti satu saudara, dan memang sesama Muslim wajib bersaudara.

Sampai kemudian, tepat tiga pekan setelah kami "ditraining" di sel, kami bebas. Tak pelak senyum sumringah menghiasi raut muka kami. Kami bergegas dan terus bergegas tanpa hirau. Tapi, tahukah Anda, di manakah gerangan sosok santun itu ketika kami bergegas? Ternyata kami telah melupakannya. Saking gembiranya, kami lupa bahwa ia tengah berada di kamar mandi sel.

Tapi untunglah, rekan kami yang dibebaskan setelah kami membawa kabar. Kabar itu adalah, sosok santun itu kirim salam atas kami, sosok santun itu menangisi kepergian kami, dan sosok itu memohon do'a dari kami. Akhirnya kami tertegun sembari mengaca diri dan tak kuasa untuk menangis haru. Lalu kami berapologi dalam untaian do'a,

Ya Allah, maafkan kami... Kami tak peduli padanya... Ya Allah, sampaikan cinta tulus kami terhadapnya... Ya Allah, bebaskanlah belenggu raganya kendati jiwanya merdeka... Ya Allah, ganjarkan dia atas ajaran-ajaran cara mencinta-Mu, cara memohon-Mu dan cara meneteskan air mata karena-Mu... Ya Allah, terima kasih atas semuanya...

Dan sosok santun itu kami biasa memanggilnya dengan sapaan Syekh. Ya, Syekh Abdul Qadir. Itulah nama yang kami tahu. Ia guru ngaji yang kata jongos-jongos asing disebut sebagai teroris. Masa hukumannya tak jelas. Kami tak tahu kapan ia akan kembali menghirup udara kebebasan? Tapi yang kami tahu ialah, ia lebih tegar dari kami. Ia lebih optimis ketimbang kami. Ia terus memohon kepada Tuhannya. Dan yang membuat hati kami pilu adalah, kini ia entah di mana. Di duniakah? Atau telah menemui Rabbnya?

Dan lewat penggalan syair Sayyid Qutb, semoga kita dapat memahami ketegaran sosok santun itu.

Saudaraku, Anda merdeka di balik tembok itu Saudaraku, Anda merdeka dengan belenggu itu

Jika Anda jadikan Allah sebagai sandaran Maka apakah gerangan yang akan memperdayakanmu

Ya Allah, terima kasih atas semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar