Rabu, 31 Maret 2010

Taman Kupu-Kupu Surga

Oleh : Shafiyyah Shafy

Ahad pagi… alhamdulillah aku merasa sangat cantik hari ini, mungkin karena telah kutumpahkan segala bebanku kepada Yang Berhak untuk dicurhati. Meski fisik ini terasa begitu lemah, namun semangatku menggebu untuk tidak telat mengikuti pelatihan istimewa. Kupaksakan diriku untuk beranjak dan bersiap-siap.

Setengah tujuh pagi, kutelusuri jalan yang masih asing bagiku dengan angkot CH. Kuperhatikan sepanjang jalan agar tidak salah turun alias nyasar. Maklum aku masih termasuk newcomers di kota metropolitan ini. Aku hanya diberi arahan agar turun di halte Mustika lalu jalan sedikit, sampailah di tempat training itu. Alhamdulillah… baru kali ini aku melihat Jakarta begitu lengang pagi ini, beda dengan hari-hari dimana aku harus berdesakan dalam metromini, mana macet lagi… Aku berpikir, kemana ya orang-orang sebanyak itu di pagi ini? Ah… sepertinya mereka juga pasti memiliki kegiatan sendiri seperti diriku.

Subhanallah… Segala Puji bagi-Mu yang menggerakkan hati setiap jiwa dengan kecenderungannya masing-masing. Mudah-mudahan Engkau senantiasa Menggerakkan hati kami cenderung kepada kebaikan dan taqwa. Akhirnya, sampai juga aku. Wah… banyak akhwat di sini, sepertinya 100-an lebih yang mengikuti training ini

“Kok ikhwannya dikit banget ya…”, batinku. Paling juga 1/5 nggak ada. Kupikir maklumlah… ini kan pelatihan manajemen guru TKA/TPA plus, jadi kebanyakan akhwat yang tertarik. Tapi kan implementasinya bukan hanya TKA/TPA aja, ini kan menyangkut pendidikan buat putra-putri kita di masa mendatang. Apakah pendidikan dan perkembangan psikologis anak hanya menjadi tanggung jawab seorang ibu? Retorika… masing-masing dari kita pasti telah mengetahui jawabannya.

Satu yang pasti, peran ibu dalam hal ini sangat besar sebab muslimah adalah bekal da’wah yang tidak hanya siap mendampingi pasangan da’wah (suami) mencapai tujuan syahidnya, tetapi juga dituntut untuk mampu melahirkan, mempersiapkan dan membentuk generasi da’wah di masa depan. Tugas yang berat lagi mulia bagimu muslimah… Dengan diawali basmalah dimulailah trainingnya. Materi-materinya begitu komprehensif dan para pembicaranya juga mampu membawakan dengan interaktif sehingga aku tertarik bahkan hanyut didalamnya melupakan rasa lemah fisik saat ini.

Kadang-kadang aku merasa seolah-olah menjadi kanak-kanak lagi yang sedang belajar menyanyi dan bermain permainan tepuk Rukun Islam, tepuk Rukun Iman, dsb. Tapi terkadang, membayangkan seolah-olah aku sedang berdiri dengan dikelilingi oleh kanak-kanak yang sedang aku bina, yang riuh belajar, mengaji dan bermain bersamaku. Duhai indahnya suasana seperti ini ya Rabb… aku sangat merindukannya… Banyak hal baru yang kujumpai di sini, kesederhanaan, keceriaan, dunia kana-kanak yang penuh harapan dan kepolosan yang jauh dari hiruk pikuk rutinitas kerja engineer. Banyak ilmu yang kuperoleh di sini, manajemen tpa-tka dengan segala teorinya, kurikulum lengkap dengan metoda-metodanya.

Namun, ada satu hal yang sangat membekas di hati ini, yaitu pernyataan pembicara bahwa pendidik merupakan taman bagi anak-anak didiknya. Sederhana namun sarat makna. Pendidik merupakan taman, artinya menjadi pusat perhatian yang indah bagi anak didiknya. Seorang pendidik harus mampu menjadi profil teladan yang baik sebab dengan kita-lah sang anak berinteraksi.

Anak-anak yang memiliki sifat meniru atau sedang berada dalam imitation phase dimana mereka sering meniru hal-hal baru atau kebiasaan-kebiasaan orang di sekitarnya. Sehingga sebagai orang yang memegang peranan penting bagi anak, kita harus mampu memberikan keteladanan yang baik. Pendidik merupakan taman, artinya menjadi tempat bermain dan pusat imajinasi anak. Sebab itu, dibutuhkan kesiapan ilmu, pengetahuan, pemahaman agama, bahkan kreativitas dalam kemampuan BCM (Bermain, Cerita dan Menyanyi). BCM merupakan tiga hal cukup penting dalam metoda menarik anak-anak dalam pengajaran sebab dunia anak adalah dunia bermain. Kita bisa tidak bisa memaksakan suatu keseriusan pada anak tetapi mengarahkan permainan, lagu dan cerita kepada pemahaman agama atau pengetahuan lainnya, sehingga mudah dicerna dan dimengerti bagi anak. Pendidik merupakan taman, artinya di situlah anak mengenal warna-warni bunga kehidupan, keramahan, keceriaan dan kebahagiaan. Untuk itu diperlukan kesabaran dan keikhlasan dalam membina anak.

Hiasilah selalu raut wajah kita dengan senyuman, karena wajah kita-lah yang selalu mereka tatap dan rindukan untuk menemani mereka tumbuh dan berkembang. Munculkan keceriaan mereka dengan keramahan kita, dan perkaya batin mereka dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang mereka peroleh ketika berinteraksi bersama kita. Ingatlah, bahwa setiap kita berperan sebagai pendidik dalam keluarga. Terlebih, seorang ibu yang berfungsi sebagai madrasah pertama dalam keluarga. Kualitas akan generasi masa depan berada di pundak kita.

Mampukah kita mencetak generasi da’wah masa depan? Jawabannya tergantung pada kesiapan dan persiapan kita saat ini. Wallahu a’lam bishshowab. Persiapkanlah diri kita menjadi taman terindah sebagai tempat bermainnya kupu-kupu surga, sebagaimana kutipan dari sebuah lagu anak-anak: Santri-santri kecil dari TK-TPA Bawa satu buku Iqro juga bawa Al Qur-an Bermain, bernyanyi, mengaji bersama Berseragam indah bagai kupu-kupu surga.

Selasa, 30 Maret 2010

Untuk Dia yang Entah Dimana

Oleh : M. Ilyas

Kala itu 4 Maret 2002. Semuanya begitu cepat terjadi dan menyentak. Ya, di sanalah salah satu episode kehidupanku yang mungkin akan terus dikenang sampai maut menjemput. Bagaimana tidak, di antara percaya dan tidak, ternyata saya harus mendekam di dalam sel tahanan. Sungguh, sebuah garis hidup yang tak pernah terlintas di benakku. Pasalnya sederhana saja, saya bukanlah teroris seperti yang mereka gariskan. Saya bukanlah pembuat onar seperti yang mereka minorkan, dan saya bukanlah penjahat yang layak dihujat. Dan saya bukanlah penjagal kakap yang harus ditangkap. Asal tahu saja, menyembelih ayam pun saya belum pernah!!

Kendati demikian, bukan itu yang layak kukenang. Tapi, Allah hadirkan di tengah-tengah kami sosok setengah baya. Dugaanku ia berusia 40 tahunan. Perawakannya tegap, wajahnya teduh, janggutnya melebat, dibungkus jubah yang tak pernah lepas dari raganya. Ia sangat santun, lembut, kerap melempar senyum, dan jauh dari kesan garang, apalagi kejam dan sadis. Tahukah Anda? Kata mereka yang tengah tertawa terbahak-bahak seperti setan di luar sel sana, sosok santun itu adalah teroris berbahaya!! Dagelan yang tak lucu.

"Jangan sedih, insya Allah kalian lekas dibebaskan. Sesungguhnya di balik kesukaran itu ada banyak kemudahan, berdo'alah kepada Yang di atas sana," ujar sosok teduh itu kepada kami yang tengah dililit ketakutan mencekam, keputusasaan yang memuncak dan kekalutan yang menggurita. Bayangkan! Kami dipenjara. Masalahnya adalah, penjara itu identik dengan kekejaman dan penyiksaan.

Lalu, saya ingat betul cerita orang-orang dan di buku-buku ihwal kengerian di penjara politik. Setruman listrik, tendangan dan pukulan yang siap mendarat, hardikan dan teriakan kasar sipir, makanan yang menjijikan, dan intinya adalah hewanisasi insan. Itulah menu harian penghuni sel.

Sontak saja saya berdo'a dengan sepenuh hati. "Ya Allah, selamatkanlah hamba-Mu ini... Ya Allah, jauhkanlah saya dari kekejaman orang-orang zalim... Ya Allah, teguhkanlah hatiku atas cobaan ini..." Dan saya pun terus komat-kamit mengeja lafal do'a di atas.

Jujur saja, sepanjang hayatku, tak pernah saya memohon sesyahdu dan sekhidmat itu. Tapi kali itu, hatiku diseret untuk mengemis kasih-Nya. Asaku bermuara di hulu cinta-Nya. Dan Firman-Nya pun menyentil qalbuku yang gelisah menggulana.

Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan... (An-Naml: 62)

Dan benar saja, Yang di atas sana mendengar jeritan kami. Hanya siksaan mental yang mendera kami. Dikurung di bawah tanah selama tiga pekan tanpa nur mentari. Pengisi perut yang terhidang di ember bak dedak pakan ternak, plus lauk sayuran yang hambar tak berasa, dibalut kepedihan serta nestapa yang menganga.

Dan di saat gamang itulah sosok santun itu kembali menyapa kami. Ia muncul laksana induk ayam temukan anak-anaknya. Kami dirangkulnya. Kami dihiburnya. Ia ajari kami hakikat kesabaran. Ajari kami tentang optimisme. Ceburkan kami ke samudera ketabahan dan ketegaran. Suapi kami dengan lantunan kalam ilahi. Dan yang terpenting, ia ajari kami untuk menangis sembari mengais rahmat-Nya, dalam shalat berjamaah kami, dalam sahur dan ifthar puasa kami, dalam zikir kami dan do'a-do'a parau kami. Geliat yang jarang kami lakukan di luar sel sana. Kami terhenyak, ternyata dunia telah memalingkan kami. Sejatinya kita bercermin diri,

Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak... (At-Taubah: 82)

Saya merenung, jangan-jangan sosok itu tengah menafsir ulang petuah Yusuf as,

"Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku." (Yusuf: 33)

Lalu, saat kami bersiap ke peraduan menjemput mimpi, kulihat sosok itu masygul dengan shalatnya. Selepas Isya hingga larut ia habiskan waktunya untuk shalat dan terus shalat, lalu, tetes air matanya yang meleleh tengah mengiba Tuhannya. Ia tak kenal jemu untuk memohon dan terus memohon. Itulah pemandangan jelang larut malam selama tiga pekan kami mendekam. Sementara saya hanya melongo, berpikir dan memutar otak bagaimana caranya cepat keluar dari penderitaan ini.

Tapi, berkat sentuhan lembut sosok santun itu, ternyata dari hari ke hari, kami lewatkan bersamanya dalam bara tazkiah yang membara. Sehingga jalinan kasih kami mengerat jiwa dan terhimpun dalam cinta-Nya. Ia bagian dari kami dan kami pun bagian darinya. Kami seperti satu saudara, dan memang sesama Muslim wajib bersaudara.

Sampai kemudian, tepat tiga pekan setelah kami "ditraining" di sel, kami bebas. Tak pelak senyum sumringah menghiasi raut muka kami. Kami bergegas dan terus bergegas tanpa hirau. Tapi, tahukah Anda, di manakah gerangan sosok santun itu ketika kami bergegas? Ternyata kami telah melupakannya. Saking gembiranya, kami lupa bahwa ia tengah berada di kamar mandi sel.

Tapi untunglah, rekan kami yang dibebaskan setelah kami membawa kabar. Kabar itu adalah, sosok santun itu kirim salam atas kami, sosok santun itu menangisi kepergian kami, dan sosok itu memohon do'a dari kami. Akhirnya kami tertegun sembari mengaca diri dan tak kuasa untuk menangis haru. Lalu kami berapologi dalam untaian do'a,

Ya Allah, maafkan kami... Kami tak peduli padanya... Ya Allah, sampaikan cinta tulus kami terhadapnya... Ya Allah, bebaskanlah belenggu raganya kendati jiwanya merdeka... Ya Allah, ganjarkan dia atas ajaran-ajaran cara mencinta-Mu, cara memohon-Mu dan cara meneteskan air mata karena-Mu... Ya Allah, terima kasih atas semuanya...

Dan sosok santun itu kami biasa memanggilnya dengan sapaan Syekh. Ya, Syekh Abdul Qadir. Itulah nama yang kami tahu. Ia guru ngaji yang kata jongos-jongos asing disebut sebagai teroris. Masa hukumannya tak jelas. Kami tak tahu kapan ia akan kembali menghirup udara kebebasan? Tapi yang kami tahu ialah, ia lebih tegar dari kami. Ia lebih optimis ketimbang kami. Ia terus memohon kepada Tuhannya. Dan yang membuat hati kami pilu adalah, kini ia entah di mana. Di duniakah? Atau telah menemui Rabbnya?

Dan lewat penggalan syair Sayyid Qutb, semoga kita dapat memahami ketegaran sosok santun itu.

Saudaraku, Anda merdeka di balik tembok itu Saudaraku, Anda merdeka dengan belenggu itu

Jika Anda jadikan Allah sebagai sandaran Maka apakah gerangan yang akan memperdayakanmu

Ya Allah, terima kasih atas semuanya.

Yang Bersedih di Hari Raya

Oleh : Bayu Gautama


Meski bukan baru, tapi baju yang saya pakai masih terlihat seperti baru. Bersih dan rapi. Begitu juga yang dikenakan istri dan anak-anak saya. Tangis haru dan tawa gembira mewarnai suasana lebaran hari itu. Sepulang sholad Id, anak-anak cantik kami berlarian memburu nenek mereka untuk meminta cium. Setelah sebelumnya berhamburan di pelukkan kami, mengecup lembut tangan dan pipi kami. Saya dan istri membalasnya dengan kecup terkasih. Sebelum berlalu, tak lupa mereka meminta 'jatah' uang lebaran.

Ada air mata yang menetes saat kutatap wajah tua di hadapanku. Terlalu lemah hati ini untuk menahan rasa yang begitu dalam terhadap ibu, sesosok anggun yang selalu ingin kucium kakinya. Kurengkuh kaki letihnya, kunikmati wangi cintanya seraya berharap kelak mendapatkan surgaku dari sana. Lalu, mengalirlah doa dan kalimat penuh kasihnya untuk anak yang sering tak tahu membalas budi ini. Kemudian satu persatu adikku tersungkur di kakinya.

Aneka kue khas hari raya yang sejak subuh telah tersedia di meja ruang tamu nampaknya tak sabar menanti untuk disentuh. Saya dan istri, tentu saja takkan melewatkan hidangan khas lebaran di rumah cinta itu, Laksa Betawi. Tidak hanya anak-anak ibu yang menikmati Laksa masakan ibu, tapi juga sahabat-sahabat saya yang sengaja datang untuk dua hal; silaturahim dan Laksa!

Begitu indah dan harunya hari raya kami, hingga saya hampir terlupa akan sebuah janji jika saja tak diingatkan seorang sahabat. "Jadi kan kita ke sana?"

Berenam kami memacu kendaraan menuju tempat yang sudah kami rencanakan untuk dikunjungi. Untuk sementara, kami tangguhkan rencana silaturahim ke beberapa teman lama. Tak lebih dari lima belas menit, kami sudah sampai di depan sebuah rumah yang kami tuju.

Sebaris senyum belasan anak-anak dari halaman rumah menyambut salam kami. Seorang dari mereka yang paling besar mempersilahkan kami masuk ...

Rumah kecil itu, dinding-dindingnya terlihat terkelupas di beberapa sisi. Tak ada satu pun anak yang mengenakan baju baru, sepatu baru, juga tak ada yang terlihat tengah menghitung-hitung uang hasil pemberian saudara-saudara mereka. Tak ada kue khas hari raya. Tak tersedia ketupat lebaran, apalagi semur daging atau rendang pelengkap sayur bumbu kuning. Air yang tersedia untuk kami pun hanya air tak berwarna, jelas, karena mereka tak punya sirup.

Di rumah panti anak yatim itu, hanya ada mata-mata kosong menanti uluran tangan para dermawan. Mereka tak pernah lagi menikmati saat-saat indah di hari raya dengan aneka hidangan, pakaian bagus, cium dan peluk hangat dari orang-orang terkasih. Tak lagi mereka dapatkan punggung tangan dan pipi untuk dikecup sepulang sholat Id, juga kaki-kaki mulia tempat mereka bersimpuh, bahkan sebagian besar mereka pun tak pernah tahu wajah orang yang pernah melahirkannya.

Sebagian mereka mengaku terus bertanya, kenapa Allah membiarkan mereka hidup tanpa orang tua? "Apakah Allah tak ingin melihat saya bermanja dengan ibu?" tanya Ardi, salah seorang penghuni panti berusia delapan tahun. Tidak sedikit dari mereka terus berharap Allah mengembalikan orang tua mereka agar mereka bisa merasakan menjadi anak, yang mendapatkan kasih sayang orang tua, agar ada tangan yang dikecup saat berangkat dan pulang sekolah, agar ada satu kesempatan bagi mereka untuk menikmati manisnya berbakti.

Mereka seolah tak peduli dengan aneka makanan dan hadiah yang kami bawa. Bukan itu yang mereka rindui. Mereka mengaku sudah terbiasa hidup tanpa berlimpah makanan.

Bersekolah tanpa uang jajan pun sudah keseharian mereka. Ada yang lebih mereka rindui di sepanjang hari, terlebih di hari raya ini.

Akbar, lelaki kecil berusia enam tahun menghampiri dan berbisik di telinga saya, "Kak, gimana rasanya tidur ditemani mama?"

Gagal saya menahan air mata ini ....

PadaMu Kami Berserah Diri

Oleh : Ade Anita

Setelah selesai shalat berjamaah di musholla kecil, ketika sedang berjalan-jalan perlahan menelusuri selasar menuju gedung pertokoan utama, sepasang lelaki dan perempuan menghampiri saya dan suami. Di sisi pasangan tersebut, terdapat seorang anak yang wajahnya amatlah mirip dengan wanita yang ujung kemejanya terus digayuti oleh tangan mungil anak tersebut. Rambutnya keriting, sangat keriting, matanya bulat jernih dengan bola mata berwarna coklat. Kulit wajahnya berwarna kuning langsat (baru kali ini saya melihat warna kulit wajah yang benar-benar kuning langsat… tidak cenderung kecoklatan, tidak juga ke arah putih kekuningan). Wajah anak tersebut amatlah polos dan ada sisa air mata di sudut bola matanya yang sebelah kiri. Menggantung bertahan di pojok matanya yang bulat tersebut.

“Ma, aku cape, mau pulang.” Ujarnya sambil menarik ujung kemeja ibunya. Ibunya hanya tersenyum tanpa komentar ke arah anak tersebut. Wajah perempuan ini sama lelahnya dengan wajah pria yang mendampinginnya. Mereka mengenakan jaket jeans yang amatlah dekil warnanya. Entah kapan terakhir kali mereka mencucinya. Atau mungkin bisa jadi kemarin mereka telah cuci jaket tersebut, hanya saja karena dipakai naik motor seharian, tentu kotoran di sepanjang jalanan Jakarta telah menempel dengan lekat di jaket tersebut. Siapa yang bisa menghindari debu dan polusi di kota Jakarta yang memang amat galak dan tak pernah pilih-pilih orang.

“Maaf bu, pak, mengganggu sebentar.“ Si pria dengan wajah malu-malu mendekati diriku dan suamiku. Kami terhenti dan saliong berhadapan dengan keluarga kecil tersebut.

“Saya ingin minta bantuan. Anak saya sakit. Sudah dua bulan tidak sembuh-sembuh. Kata dokter, dia harus dirawat ke rumah sakit, tapi kami tidak punya biaya untuk membawanya ke rumah sakit. Bahkan kini kami pun tidak punya biaya untuk sekedar membelikannya obat. Padahal obat itu harus dia makan setiap harinya.”

Tanpa basa basi, tanpa kalimat pembukaan bahkan tanpa kata perkenalan, pria tersebut terus berbicara dihadapanku. Membuatku terdiam dan langsung mengamati keluarga kecil tersebut. Suamiku langsung menatapku dan rasanya dia tahu bahwa telah terbit keraguan dalam kepalaku untuk mempercayai begitu saja pengakuan pria tersebut. Keraguan yang terbaca oleh suamiku ini, ternyata terbaca juga oleh pria tersebut. Dengan sigap, dia merogoh sebuah album photo dari dalam saku jaketnya. Ada dua buah album photo di sana. Dia juga menyodorkan KTP yang dia miliki. Juga KTP milik istrinya.

“Nama saya Karyo.” (sebut saja seperti ini).“Dulu, saya adalah atlet senam mewakili DKI Jakarta. Dan ini istri saya, Jessy.” (sebut saja juga seperti ini).

“Dia juga atlet senam mewakili DKI Jakarta. Saya mendalami senam dengan penghalang, sedangkan istri saya senam lantai.“

Aku langsung melihat mereka. Tubuh mereka berdua memang sama semampainya. Sikap berdiri yang mereka tampilkan pun sama sempurna dan lentiknya. Saya sedikit percaya bahwa mereka bekas atlet. Setidaknya, mereka yang pernah rajin berolah raga (tubuh mereka terlalu kurus seperti kurang gizi, jadi masih sedikit ragu untuk dikatakan atlet aktif). Suami saya akhirnya menghentikan penilaian tanpa bicara dan hanya mengandalkan tatapan mata saja. Kami menanyakan penyakit yang diderita oleh anak mereka. Dengan wajah sedih, mereka bercerita tentang gambaran penyakit tersebut dan segala usaha yang telah dilanjutkan. Suasana melankolis segera menghampiri selasar yang tidak seberapa ramai tersebut.

Aku segera berinisiatif untuk mengalihkan pembicaraan yang sedih dan mulai cenderung menyesali nasib tersebut. Terus terang, paling tidak nyaman rasanya berhadapan dengan mereka yang jujur menyalahkan nasib dan pada akhirnya menghujat Tuhan karena merasa lelah dengan kemalangan nasib yang terus menimpa mereka. Tapi terkadang kondisi ini tidak dapat dihindari. Bahkan kekhawatiran tersebut telah dikatakan akan terjadi pada suatu kaum, dimana sebuah kefakiran akan mendatangkan kekufuran pada mereka yang mengalaminya. Akhirnya, singkat cerita, kami mengambil sikap untuk berprasangka baik bahwa mereka adalah keluarga baik-baik yang memang sedang membutuhkan pertolongan.

Ada beberapa pertimbangan hingga kami pada akhirnya mengambil sikap ini. Pertama, bisa jadi mereka berbohong dan mereka termasuk orang-orang yang memiliki rencana jahat di balik ini semua. Kecurigaan ini harus kami hilangkan karena satu keyakinan. Bahwa di atas segala sesuatunya, pada akhirnya Allah-lah yang Maha Berkuasa. Biarpun seluruh dunia saling bekerja sama untuk mengadakan sebuah kejahatan untuk ditimpakan pada seseorang, jika Allah tidak menghendakinya, maka insya Allah kejahatan tersebut tidak akan terjadi.

Kedua, bisa jadi tidak pernah ada musibah yang sedemikian buruknya sedang menimpa mereka. Mungkin anak mereka yang lain saat ini bertubuh gemuk sehat, sedang tertawa sambil makan ayam goreng keluaran rumah makan cepat saji sambil berdecak nikmat kekenyangan. Tak ada penyakit, bahkan satu bisulpun di tubuhnya. Isi dompet keluarga ini mungkin saja kosong, tapi isi rekening tabungan mereka di bank-bank penuhnya melebihi uang di dalam dompet kami dan saat ini mereka sedang mencari jalan untuk menambah pundi-pundi tabungan mereka tanpa harus keluar keringat setetespun. Tapi sekali lagi, kecurigaan ini harus dihilangkan. Bagaimana jika mereka jujur dan mengatakan hal yang sebenarnya. Bagaimana jika betul mereka termasuk orang-orang yang memang memerlukan pertolongan disertai keyakinan bahwa Allah akan selalu membantu hamba-Nya yang berkata jujur dan telah berbuat baik.

Mengisahkan musibah yang dialami oleh diri sendiri adalah sebuah kejujuran yang terkadang menjadi sangat berat untuk mereka yang telah berusaha untuk senantiasa menyembunyikan amal kebajikan. Karenanya, siapapun harus menghargainya dan tidak berhak menaruh prasangka buruk. Dan jika betul musibah tersebut telah terjadi atas diri mereka, terlebih karena mereka mengaku sebagai seorang muslim dan muslimah, maka persaudaraan Islam haruslah ditegakkan. Prasangka baik dan persaudaraan Islam, dua hal yang harus tetap disemai dalam hati kita. Adapun hasilnya, jika ternyata mereka tak lain hanyalah menggunakan topeng untuk mengelabui kita, Allah Maha Mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Keadilan akan selalu ditegakkan. Yang penting, niat baik sudah dicatat dalam catatan amal.

Sekali lagi, dalam ketidak tahuan atas realita di balik ini semua, keyakinan bahwa Allah-lah yang Maha Berkuasa atas segalanya akan diuji.

Ketiga, ada sebuah tugas tak langsung yang tersandang di pundak setiap muslim dan muslimah yang mengenakan pakaian takwanya di manapun dia berada di atas muka bumi ini. Yaitu, berdakwah tidak hanya melalui perkataan tapi juga perbuatan. Kenyataan yang kami hadapi saat ini adalah, sebuah keluarga yang berdiri tepat di depan mata kami dengan menampilkan suasana putus asa akan rahmat Allah, kecewa pada pemerintahan, dan kecewa pada masa lalu yang telah terjadi.

Tiga hal ini tentu saja harus diperbaiki dengan segera. Putus asa akan rahmat Allah, bisa jadi karena posisi mereka berada saat ini, menyebabkan mereka tidak dapat melihat sudut solusi lain dari masalah mereka. Sebagai saudara mereka, atas nama persaudaraan Islam karena Allah semata, juga karena posisi kita yang berdiri berlainan tempat dengan posisi mereka saat ini, menjadi tugas kita untuk tidak sekedar mengingatkan mereka bahwa Allah tidak pergi meninggalkan mereka saat ini (dan memang tidak pernah terjadi). Membangkitkan kesadaran bahwa Allah tidak akan menimpakan sesuatu di luar kemampuan hamba-Nya haruslah terus dilakukan. Jika tidak, bisa jadi mereka berprasangka buruk pada Allah, pada Islam, dan akhirnya berbalik menjadi musuh dari Islam sendiri. Kecewa pada pemerintah pun demikian. Mereka yang kecewa pada pemerintah, suatu saat akan, yaitu ketika rasa kecewa itu kian menumpuk bisa jadi akan merencanakan sebuah tindakan yang bukan hanya merugikan diri mereka sendiri, tapi juga merugikan orang banyak, merugikan negara secara keseluruhan dan pada akhirnya, merugikan keberlangsungan nama baik Islam di negara ini. Sedangkan kecewa pada masa lalu, adalah ciri-ciri dari mereka bisa masuk ke dalam kelompok mereka yang akan sulit menjalani taubat. Inilah salah satu ciri dari mereka yang ingkar pada nikmat Allah atas diri mereka.

Pada akhirnya, kami sepakat untuk membantu mereka, dengan segala prasangka baik yang menyertai sikap waspada. Yaitu, tidak serta merta memberikan bantuan uang seperti yang mereka minta. Tapi memberi rekomendasi nama teman-teman yang bisa mereka hubungi untuk mendapatkan bantuan kesehatan, bantuan pendidikan, serta bantuan lain yang berhubungan.

Satu hari ditunggu kabar, tidak ada kabar apapun. Tiga hari kemudian pun demikian juga. Hingga satu bulan kemudian, kami mencoba mengontak nama-nama teman yang telah kami rekomendasikan pada keluarga muda tersebut. Hasilnya? Tidak ada kabar. Entah apa yang terjadi pada keluarga muda tersebut. Mungkin anaknya sudah sembuh. Atau ekonomi keluarga tersebut telah membaik atas izin Allah. Wallahu’alam. Dalam kondisi seperti inipun, kita tetap harus berprasangka baik dan tetap memberikan doa pada saudara kita tersebut.

Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Sekali lagi Dia telah menunjukkan pada kami kekuasaan-Nya yang Maha Besar atas segala sesuatunya. Semoga Allah senantiasa melindungi keluarga muda tersebut, juga pada kami dan kalian semua, agar tidak terjerumus kepada kesesatan dan kejahatan. Aamiin

Maka Pilihlah, Kemudian Bertaqwalah

Oleh : Azimah Rahayu

Suatu hari, saya akan menuju suatu tempat. Saya harus memilih kira-kira jalur mana yang akan saya lewati dan alat transportasi apa yang akan saya gunakan. Apakah saya akan naik angkutan umum? Yang lewat tol atau jalur lambat? Atau naik kereta yang cepat namun dapat dipastikan terhimpit? Atau apa?

Dengan menggunakan pengetahuan yang saya miliki tentang kondisi jalanan di Jakarta, saya memilih naik angkutan umum patas AC yang jalurnya lewat tol (supaya tidak terlalu berdesak-desakan dan lebih cepat).

Namun ternyata saya salah. Apa yang saya prediksikan bertolak belakang dari kenyataan. Tol macet total, penumpang penuh dan saya akhirnya harus berdiri dan tiba di tujuan sangat telat. Kesal, sebal, bete dan akhirnya menangis. Padahal saya sudah memilih dengan pemahaman medan terbaik, bukan tanpa pengetahuan. Padahal saya sudah memilih dengan menggunakan parameter-parameter islami. Tapi kok?

Tapi akhirnya saya menyadari, bahwa pilihan saya memang salah. Salah dalam arti prediksi saya tidak tepat, bukan SALAH dalam arti lawannya BENAR. Persepsi saya semula yang saya pikir akan memberikan prediksi yang mendekati benar karena berlandaskan pengetahuan yang cukup, ternyata masih kurang. Hal ini membuat saya makin sadar, bahwa pengetahuan saya sangat sedikit. Membuat saya makin tahu, begitu banyak yang di luar control dan kemampuan manusia.

Namun toh, setidaknya saya telah mengambil pilihan dan menjalaninya dengan sadar. Kalau ternyata hasil dari pilihan itu tidak seperti yang saya harapkan saat mengambil keputusan, itu adalah konsekuensi yang harus saya terima. Tak perlu menyesal apalagi merutuki diri dan orang lain. Bukan tidak mungkin, ada sesuatu yang tidak saya tahu, menjadi hikmah dari kejadian di luar kontrol itu tadi.

***

Satu fragmen di atas hanyalah contoh kecil dan remeh temeh, yang menunjukkan bahwa semua hal dalam hidup ini adalah pilihan. Hal-hal kecil seperti baju dan makanan pun kita memilih. Sekolah, cita-cita, aktivitas, kehidupan beragama, jodoh dan sikap hidup, juga pilihan Kita melakukannya dengan sadar atau tidak. Dengan pemahaman atau tidak. Secara reflek atau dipikir-pikir dulu. Kita pilih sendiri atau dipilihkan oleh orang lain untuk kita. Semua adalah PILIHAN.

Dan setiap pilihan akan membawa pada arah yang berbeda, hasil yang berbeda, serta konsekuensi berbeda pula. Ada konsekuensi dan hasil yang merupakan akibat logis dari pilihan itu dan sebelumnya sudah kita prediksikan. Ada yang merupakan akibat dan hasil yang di luar control kita, dan tak kita duga sebelumnya. Tak masalah. Karena bukan itu poinnya. Bukan HASIL dari pilihan itu yang terpenting. Namun bagaimana proses kita memilih: landasan apa yang kita gunakan sebagai dalil, pengetahuan dan pemahaman terhadap permasalahan dan kesadaran atas segala resiko dari setiap pilihan.

Maka apakah engkau akan lebih suka untuk tidak memilih? Toh, pada akhirnya, saat kau hanya menjalani suatu kehidupan secara mengalir saja atau menunggu dipilih atau dipilihkan oleh orang lain kau tetap akan harus menjalani satu pilihan. Jika demikian, lebih baik engkau memilih dan memutuskan dengan sadar, dengan segenap ilmu dan pemahaman yang telah kau miliki. Bahkan sekalipun ternyata pilihan itu salah. Setidaknya kita sudah pernah memilih.

Bahwa kemudian kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan di awal pada saat menjatuhkan pilihan, itu tidak masalah karena hidup memang demikian. Allah Tahu dan Maha Tahu, sedang pengetahuan manusia sangat terbatas. Mengambil dan menjalani setiap pilihan akan membuat kita menyadari begitu banyak keterbatasan pengetahuan, pengertian dan pemahaman kita. Jika ternyata pilihan itu salah, setidaknya engkau akan mengerti dan menjadi lebih dewasa karenanya. Engkau bisa memilih yang lain lagi. Memilih yang lebih baik lagi. Dan belajar dari pilihan sebelumnya.

Karena itu, mulai bangun keberanian untuk memilih, sekarang juga. Memilih berdasarkan pemahaman dan pengetahuan maksimal yang kita miliki. Bermusyawarah dan meminta masukan dari orang-orang yang fakih, jika bisa dilakukan. Kemudian, minta ketetapan kepada Dia Yang Maha Tahu Yang Terbaik Untuk Kita melalui shalat istikharah, sebagai bentuk pengakuan akan betapa banyak yang kita tidak tahu dan tidak mampu kontrol hal-hal di luar kita. Sesudahnya, pasrah dan tawakkal!

Apapun hasilnya, tidak menjadi masalah, karena kita sudah memilih. Hanya orang yang berani memilihlah yang layak untuk mendapat penghargaan. Seberapa pun berat sebuah pilihan, ia tetap layak diacungi jempol. Dan hanya satu kata yang pantas untuk seorang yang tak berani memilih: PECUNDANG!

Klise, Namun Demikianlah

Oleh : Ade Anita

Seorang teman datang pada saya dan bertanya apa arti kebahagiaan itu. Entah mengapa, meski pertanyaannnya sangat mudah, tapi saya tidak bisa langsung begitu saja memberinya jawaban. Selama dua bulan, saya hanya tersenyum dan meminta dia bersabar dan memberi saya waktu yang cukup untuk menguraikan jawabannya. Rentang waktu itu kini sudah berlalu dua bulan lamanya. Setiap kali bertemu dengannya, dia selalu bertanya apa jawabannya.

“Apa mbak arti bahagia itu? Seperti apa rasanya? Bagaimana bentuknya?”

“Bahagia itu tidak bisa dijabarkan begitu saja dengan kata-kata. Bahagia itu hanya bisa dirasakan di hati dan hanya orang itu sendiri yang bisa merasakannya.” Saya mencoba memberi jawaban padanya. Tapi rupanya jawaban saya tidak cukup membuatnya puas.

“Itu jawaban yang sangat klise. Saya ingin tahu lebih banyak lagi, tunjukkan pada saya secara lebih jelas apa itu bahagia. Saya sangat membutuhkan jawabannya, karena saya ingin bisa selalu merasa bahagia.”

Sampai disitu saya kembali terdiam. Bukan karena tidak tahu apa yang ingin saya katakan. Jika saja saya langsung berbicara padanya panjang lebar tentang arti bahagia saat itu juga karena dia sangat menginginkan jawabannya segera; yang saya pikirkan adalah, apakah jawaban instan saya akan bisa memuaskan rasa ingin tahunya yang mendesak itu? Akhirnya, saya mengambil keputusan untuk menunda (kembali) sejenak jawaban yang ingin saya berikan padanya dan memintanya untuk bersabar agar saya bisa menjelaskan padanya secara lebih jelas apa arti bahagia itu.

“Beri saya tambahan waktu untuk mencari penjelasan yang gamplang pada kamu apa itu bahagia. Kamu sabar yah menunggu.

”Hmm. Ngomong-ngomong soal arti bahagia.

Ada sebuah kejadian yang cukup berkesan dihati saya berkenaan dengan perasaan bahagia. Kejadiannya sangat sederhana dan mungkin ada beberapa di antara kalian yang pernah mengalaminya juga. Wallahua’lam.

Kejadiannya bermula di suatu hari ketika saya dalam perjalanan menuju ke pasar. Di pinggir jalan beraspal saya bertemu dengan seorang bapak tua penjual bangku. Matahari sangat terik sehingga cuaca sangat terasa membakar kulit dan mengeringkan kerongkongan. Pepohonan yang berjajar di pinggir jalan pun rasanya tidak mampu lagi memberikan kesejukan lewat kerindangannya. Dalam suasana seperti itulah saya bertemu dengan bapak tua penjual bangku. Usianya mungkin sekitar 65-an tahun atau lebih. Kulit tubuhnya yang gosong terbakar matahari sudah banyak yang keriput. Kaki dan tangannya kurus sehingga terlihat seperti kulit yang membalut tulang saja. Matanya tampak masuk ke dalam pertanda dia sangat kurang waktu tidurnya. Dengan tubuh lemah dan sedikit gemetar, dia duduk di atas bangku bambu tua yang dijualnya. Napasnya terdengar mengik dan memburu diiringi batuk kering yang terdengar berat beberapa kali. Bapak tua itu terlihat sangat kepayahan dengan pekerjaan dan penyakitnya. Dengan tatapan mata kelelahan dan sisa senyum yang dipaksakan dari bibir keringnya, bapak tua itu menyapa saya dan menawarkan bangkunya.

“Nak, beli bangku bapak nak.“ Wajah tuanya sangat memelas sehingga saya tidak bisa menghiraukan begitu saja sapaannya. Saya mencoba untuk tersenyum dan secara reflek langsung melirik bangku bambu tua yang dijajakannya. Bangku bambu itu tampaknya akan sulit untuk laku. Entah sudah berapa lama dia memikulnya kesana kemari. Rasanya sudah cukup lama. Ada bekas memutih di kaki bangku bagian kanan bawah bekas tapak bapak tua yang memang memanggul bangku itu di atas pundaknya. Begitu juga di beberapa bagian lain tampak cat pelitur kayunya mulai memutih bahkan ada yang mulai terkelupas karena terbakar sinar matahari. Beberapa bagian bahkan memperlihatkan jalinan tali bambu yang menghubungkan ruas-ruas bambu mulai aus dan tampak rentan. Saya tidak yakin apakah bangku bambu itu akan bisa laku dalam waktu cepat tapi saya sendiri saat itu tidak membutuhkan bangku jadi tidak mungkin rasanya saya membelinya. Akhirnya saya tawarkan dia makanan sekedarnya untuk menghilangkan keletihannya bekerja serta menawarkan bantuan untuk berobat mengobati sakit batuk bengiknya yang terdengar sangat parah. Bapak tua itu hanya tersenyum tabah.

"Tidak nak. Bapak lebih senang jika bangku bapak laku terjual jadi bapak bisa menjual bangku yang lain. Beli saja bangku bapak.” Pedagang. Siapa yang tak hendak barang dagangannya laris. Tapi usia tua dan kondisi bapak tua itu sungguh membuat hati menjadi miris. Harga bambu yang dipikulnya kesana kemari selama beberapa hari itu hanya ditawarkan sebesar Rp 50.000. Untuk sebuah bangku bambu yang mulai memudar warnanya dan segala pertimbangan kekurangan yang dimiliki oleh bangku bambu bukan buatan pabrik, itu harga yang cukup pantas. Bahkan beberapa orang mungkin merasa itu harga yang mahal. Tapi untuk sebuah kelelahan berjalan berpuluh kilometer keluar masuk kampung, panas dihadang hujan diterjang, rasa lapar terlewati, rasa sakit tak dirasakan, itu adalah harga yang masih sangat murah. Padahal uang itulah yang akan diberikan pada istri dan cucunya untuk kehidupan selama satu bulan di kota besar Jakarta.

Pertemuan singkat itu berlalu. Malam berganti siang dan siang berganti malam. Beberapa hari kemudian saya bertemu lagi dengan bapak tua itu. Kali ini, dia masih mengangkut bangku bambu yang sama. Baju lusuhnya pun masih baju yang sama, seragam korpri tua yang sudah mulai memudar warna birunya dan tak ketinggalan kaki yang tidak pernah beralas kaki. Saya mengajak si bapak tua itu mampir ke rumah saya dan menjamunya ala kadarnya.

“Bagaimana pak, sudah berobat ke dokter?” Saya bertanya iseng, karena sepanjang pertemuan beberapa saat itu si bapak hanya menunduk terdiam menikmati teh manis serta kue tanpa suara; hanya sesekali terdengar suara batuk keringnya yang khas.

“Belum nak.“ Si bapak tua tersenyum sopan malu-malu dan segera setelah senyumnya mengembang, sebuah batuk menghilangkan senyum yang terkembang itu. Saya tahu bapak tua itu belum mengobati sakitnya. Entah sejak kapan dia mulai sakit tapi rasanya bapak tua itu sendiri tidak pernah mempunyai pikiran untuk mengobati sakitnya itu.

“Kenapa pak? Nanti sakitnya kian parah. Apakah uang tempo hari itu tidak cukup untuk berobat?” Bapak itu menjawab pertanyaan saya dengan sebuah gelengan. Gelengan yang diiringi wajah yang tidak menampakkan kesusahan sama sekali (subhanallah).

“Tidak. Cukup Nak. Tapi saya sengaja tidak menggunakannya untuk berobat. Saya belikan makanan dan pakaian untuk istri dan cucu saya. Sudah lama kami makan tak berlauk. Saya juga belikan cucu saya mainan. Dia senang sekali kemarin. Mulutnya tidak berhenti bersenandung sepanjang hari. Kebahagiaan cucu saya itu, lebih daripada obat bagi bapak.”

Bapak itu bercerita dengan mata berbinar cerah. Ada semangat yang tiba-tiba menghiasi wajah tuanya yang kelelahan. Senyumnya mengembang dan matanya menerawang menembus lantai teras yang dipandanginya. Rasanya senyum dan senandung cucunya saat itu kembali terdengar dir telinganya. Dia sangat terlihat begitu bahagia. Bahkan rona kebahagiaan itu mampu menghadirkan warna semburat kemerahan di pipinya yang sangat pucat.

Subhanallah. Itulah kebahagiaan. Saya kini bisa melihat apa itu kebahagiaan. Melihat senyum bahagia bapak tua itu saya ikut bahagia dan terharu. Tapi bagaimana caranya memberitahu pada teman saya itu? Apakah dengan cara merekam percakapan dan suasana yang baru saja saya alami pada teman saya itu dengan lengkap dalam bentuk film dokumenter? Bagaimana jika teman saya itu tidak bisa melihat pesan bahagia yang baru saja terkirim?

“Mbak, saya sekarang sudah menjadi orang yang tidak sabaran. Saya tidak sabar mencari jawaban apa arti bahagia. Apa yang harus saya miliki untuk bisa bahagia?” Pertanyaan terakhirnya, apa yang harus dimiliki untuk bisa bahagia. Saya yakin, ukuran bahagia itu tidak bersifat materi. Ini karena manusia secara fitrahnya, tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah dia miliki. Jika dia belum memiliki sesuatu, dia akan berusaha untuk mendapatkannya. Ketika suatu saat dia berhasil mendapatkannya maka nilai kenikmatan memilikinya adalah sebuah kenikmatan sesaat yang segera hilang dalam sekejap. Mengapa? Karena setelah itu ada sebuah keinginan baru, yaitu ingin mencoba untuk memperoleh yang lebih baik lagi dari apa yang sudah berhasil dia miliki. Sesuatu yang lebih hebat, lebih spektakuler dan itu semua juga bersifat sementara dan terus berakumulatif. Semua kenikmatan sesaat itu bukanlah kebahagiaan. Lalu seperti apa kebahagiaan yang lebih awet itu? Coba lihat kisah berikut ini.

Suatu hari Ali bin Abu Thalib berkata pada seorang laki-laki dari Bani Sa’ad.

“Maukah kamu saya ceritakan tentang saya dan Fathimah? Ia tinggal bersama saya dan ia adalah keluarga Rasulullah yang paling dicintai oleh beliau. Namun, ia mengambil air dengan qirbah (tempat air), sehingga menimbulkan bekas di dadanya; ia menggiling dengan gilingan, sehingga tangannya bengkak; ia membersihkan rumah, sehingga pakaiannya kotor; ia bahkan juga menyalakan api di bawah periuk. Ia betul-betul capai dengan pekerjaan itu. Aku pun mengatakan kepadanya, “Jika kamu menemui ayahmu, mintalah kepada beliau seorang pembantu, agar kamu tidak lagi kecapaian dengan pekerjaan ini.

”Fathimah pun pergi menemui Nabi saw. Di tempat nabi, ia mendapati banyak orang sedang bercakap-cakap. Ia merasa malu, lalu pulang.

Nabi tahu bahwa Fathimah datang karena ada keperluan. Beliau pun datang ke tempat kami. Saat itu, kami sedang berada di tempat tidur. Beliau mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam. Masuklah, wahai Rasulullah.” Kataku. Masih dalam keadaan berdiri, beliau bertanya, “Wahai Fathimah, ada perlu apa kamu kemarin?”

Aku takut jika Fathimah tidak menjawabnya, beliau akan pergi. Aku pun mengatakan kepada beliau, “Saya ingin memberitahumu, wahai Rasulullah, bahwa Fathimah selalu mengambil air sehingga menimbulkan bekas di dadanya, suka menggiling sehingga bengkak tangannya, suka membersihkan rumah sampai berdebu pakaiannya dan suka menyalakan api di bawah periuk sampai kotor pakaiannya. Aku lalu mengatakan kepadanya, jika kamu datang ke tempat ayahmu, mintalah seorang pelayan kepadanya agar kamu tidak lagi kecapaian.

Beliau mengatakan, ‘Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik bagi kalian dibanding seorang pelayan? Jika kalian hendak tidur, bertasbihlah 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali. Semuanya berjumlah seratus dalam ucapan, dan seribu kebaikan dalam timbangan.’ Fathimah mengatakan, ‘Aku senang dengan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.’”(dikutip dari buku, “Fathimah Azzahra, penerbit Lentera Jakarta).

Maka Ali berkata kepada Fathimah, “Kamu semula menginginkan dunia dari Rasulullah, kemudian Allah memberi kita pahala akhirat.”

Jadi, ujung pencarian kata bahagia itu adalah ikhlas; ikhlas karena dan hanya untuk Allah semata. Artinya untuk bisa merasakan bahagia itu maka orientasi akhiratlah yang harus kita tanamkan dalam kepala dan benak kita. Kenapa? Karena dunia dan segala sesuatu yang ada di atasnya tidak ada yang bersifat abadi.

Subhanallah (Maha Suci Allah); Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah yang memelihara seisi alam); Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Itu yang diajarkan oleh Rasulullah pada Fathimah dan Ali untuk mengurangi penderitaan mereka dan sekaligus untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. Bukan harta, budak atau materi dunia. Ketiga konsep ini, mengajak kita untuk senantiasa berprasangka baik pada apapun yang Allah berikan pada kita; juga mengajak kita untuk selalu bersyukur dan ikhlas. Segala sesuatu itu akan terasa memiliki nilai yang berharga jika hati kita dipenuhi rasa syukur atasnya. Segala sesuatu itu akan terasa ringan dan nikmat jika kita menerima dan melakukannya dengan penuh ikhlas. Jika semuanya ‘fine-fine saja’, ‘ikhlas-ikhlas saja’, maka rasa bahagia itu akan bisa kita rasakan di dalam diri. Itu sebabnya kebahagiaan itu hanya bisa dirasakan di hati individu yang bersangkutan saja. Tapi, bagaimana menjabarkan ini semua pada teman saya itu jika saya sendiri masih belajar untuk menjadi seorang yang bisa selalu brsyukur dan ikhlas? Paling banter teman saya itu akan mengatakan bahwa jawaban saya adalah jawaban klise. Hmm… klise memang; namun demikianlah.

Semoga Allah memberikan rahmatNya pada kita semua, dan saya doakan agar kamu dan saya serta ummat Islam di muka bumi akan memperoleh kebahagiaan sebagai hadiah terindah dari-Nya. Aamiin.

Ketika Tuhan Bertanya

Oleh : Keusuma Izzati

Satu persatu ayat dalam Ar Rahman mengalun dari pengeras suara di sudut-sudut tiang Masjid Baiturrahman. Perlahan dalam syahdu. Mengiringi mentari menghabiskan sepenggal perjalanannya menuju malam.

"Fabiayyi aalaaa i rabbikuma tukadzdzibaan"

Kesibukan Pasar Aceh mulai bergeliat mempersiapkan waktu berbuka puasa. Sepanjang kaki lima, gerobak-gerobak pecal dan penganan berbuka tampak bersiap siap. Kue lemang yang terbuat dari beras ketan yang dimasak di dalam bilah bambu, tampak berjejer di meja-meja dadakan di pinggir jalan dan emperan toko. Ada juga putu, timpan balun, dan beberapa makanan tradisional Aceh khas berbuka puasa lainnya. Beberapa lelaki tampak sejenak meninggalkan pekerjaannya untuk segera menuju masjid guna menunaikan shalat ashar.

"Fabiayyi aalaaa i rabbikuma tukadzdzibaan"

Keramaian pun hampir sama di pelataran Masjid Raya. Stand penjual buku di sisi timur masjid tampak dipadati orang-orang yang berminat membeli atau pun sekadar membolak-balik beberapa halaman buku yang menarik buatnya. Di teras masjid ada orang-orang yang duduk-duduk sambil menunggu waktu ashar tiba.

"Fabiayyi aalaaa i rabbikuma tukadzdzibaan"

kembali mengalun dari pengeras suara di sudut-sudut tiang masjid.

Setelah berwudhu, membasuh gurat kelelahan dari jengkal kulit, saya melangkah ke dalam masjid yang berlantaikan marmer tanpa karpet. Dingin serta merta merasuk dalam pori-pori telapak kaki yang penat. Dingin pula yang terasa perlahan menelusup dalam simpul saraf yang menegang menantang perjalanan hidup. Perjalanan hidup.

Perjalanan yang terasa panjang dan melelahkan. Tak terasa 28 tahun terlewati. Kini saya di sini merasa belum menjadi siapa-siapa. Perjalanan waktu terukir sejak saya dilahirkan di tanah rencong ini. Tumbuh dan besar dalam asuhan alam Islam yang kental. Ritual dan aturan hidup Islam menjadi hal yang biasa sehari-hari bahkan menjadi tradisi yang melekat erat.

Langkah takdir membawa saya keluar dari tanah ini. Keluar untuk mencari bekal ilmu dengan harapan besar untuk penghidupan yang lebih baik secara materi. Kemudahan demi kemudahan membuaikan perjalanan saya. Semua ini seakan adalah karena saya memang pantas untuk mendapatkannya, karena saya adalah yang terbaik. Kenikmatan materi yang mudah digapai ternyata membuat rasa tidak puas pada satu pencapaian, dan semakin menuntut pencapaian yang lebih tinggi. Akhirnya hanya mampu berdalih bahwa manusia memang makhluk yang tidak pernah terpuaskan.

Panggilan-Nya tidak lagi merengkuh hati untuk segera menghadap, di kala pekerjaan kantor menuntut untuk segera tertuntaskan. Marahnya bos di kantor terasa lebih menakutkan daripada marahnya Allah di hari pembalasan kelak. Lembaran mushaf tersingkirkan oleh lembaran laporan kerja. Detik detik malam pun berlalu dalam hening tanpa sujud yang menemaninya. Semuanya berjalan begitu saja, dan hampa.

"Fabiayyi aalaaa i rabbikuma tukadzdzibaan"

Seperti roda pedati, perjalanan hidup adakalanya di atas ada kalanya ia terjungkir ke bawah bersama kerikil dan lumpur. Saya kehilangan pekerjaan. Lantas apakah kita menyalahkan Tuhan akan kondisi kita yang sedang ada di bawah? Mungkin awalnya iya bagi sebagian orang, seperti saya. Saya sempat merasa Tuhan telah tidak adil. Mengapa kesulitan ini semakin menghimpit buat saya. Saya mulai ber'matematika' dengan nikmat Allah. Saya sudah melakukan banyak kebaikan, tapi kenapa keburukan akhirnya menimpa saya juga. Pada saat itu, saya terlupa bahwa begitu banyak nikmat Allah yang telah saya sia-siakan sementara panggilan Allah kadang-kadang setengah hati saya tunaikan.

Ketika Tuhan bertanya, "Fabiayyi aalaaa i rabbikuma tukadzdzibaan"

Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? masih sempatkah kita merenungi jawabannya?

Masih bersimpuh di lantai marmer masjid tanpa karpet, saya merasakan ada nikmat. Nikmat yang mungkin sekian lama terlupakan. Nikmat yang berbeda dengan nikmat pencapaian nafsu duniawi yang fana, yang semakin dikejar malah terasa semakin jauh. Sementara Tuhan masih menanti kita di sisi lain, berlari menuju kita pada saat kita melangkah mendekat pada-Nya.

Adzan ashar bergema dari pengeras suara di sudut-sudut tiang Masjid Baiturrahman. Saudaraku, bersyukurlah kita yang masih "ditanya" oleh Allah.

Kala Hati Tercerabut Taqwa

Oleh : Abu Aufa


Uugh... angin kering dan panas mengikis jalanan, memperkosa kulit, membakar dan menyengat. Debu bergolak dan meronta, berbaur aroma busuk dari got yang hitam airnya dan penuh jejalan sampah. Udara pekat dan penuh tuba itu menyergap sosok penuh bekas kudis dan kurap, berbungkus pakaian compang camping, dan kaki beralaskan sandal jepit yang talinya disambung dengan peniti. Sekali-kali, lirih terdengar nada iba dari balik gendongan kain sarung kumal penuh tambalan.

'Sabar ya nak, sabar..., Gusti Allah itu Maha Penyayang,' sosok tubuh itu menenteramkan buah hati tercinta, seraya tangan terhulur meminta-minta. Tiba-tiba ia terkesiap, 'Ampun om, ampun..., jangan pukul lagi, sakit...,' suara kecil yang sangat dikenalnya terdengar menghiba, tak jauh dari kedai makan yang tertutup rapat. Namun hanya air mata terisak, jatuh menimpa kaki yang membusuk karena borok. 'Aku tak mencuri mak, aku hanya memungut daging yang jatuh dari piringnya, untuk lauk emak berbuka puasa,' mengadu kepada ibunda tercinta, lalu cucuran air mata mereka basah menggenangi trotoar jalan.

Banyak pasang mata menatap iba, lalu hanya lirih terucap, 'Kasihan ya...'

Haiya 'alash-shalaah... haiya 'alal-falaah...Seraya menggendong bayi dalam dekapan, dan dituntun anak laki-lakinya, kaki tua itu terseok-seok melangkah ke arah mesjid besar dan megah, penuh dengan kaligrafi indah yang pasti amat mahal harganya. Buka puasa bersama, hanya itu harapan untuk makan dengan nikmat.

'Jamaah mesjid rahimakumullah, Rasulullah Sallallaahu Alayhi Wasallam berpesan, banyaklah bersedekah kepada kaum fuqara dan masakin, barang siapa yang memuliakan anak yatim di bulan mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memuliakannya pula pada hari ia berjumpa dengan-Nya,' kultum dari ustadz lantang terdengar dari atas mimbar.

Tampak begitu banyak kepala mengangguk-angguk, entah karena membenarkan atau terserang kantuk. Mata tua itu pun berbinar-binar, berharap semakin banyak manusia-manusia bertakwa akan lahir dari kancah peperangan manusia dan hawa nafsunya.

Takwa...

Begitu sering kata itu bergaung di telinga kita, entah karena terlalu sering, lalu menjadi tiada makna. Sifat dermawan, empati dan peduli terhadap golongan yang tak punya pun mestinya juga lahir dari ibadah shaum di bulan mulia, dan itulah salah satu makna takwa [Al Baqarah: 177]. Lalu mengapa masih begitu banyak anak yatim, anak jalanan, peminta-minta, fakir miskin, atau pun janda-janda tua ?

Sifat takwa seharusnya tidak hilir mudik dari telinga kiri ke telinga kanan saja, namun harus direalisasikan dalam aktivitas nyata. Menurut ustadz Dr. Hidayat Nur Wahid, kata takwa adalah kata kunci pembeda dan pendorong agar nilai pribadi dan peran serta sosial kita selalu meningkat dan bermanfaat. Menurut beliau lagi, manusia-manusia yang berusaha menghadirkan takwa dalam kehidupan nyata, akan dimudahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam menyelesaikan masalah-masalah dirinya [Ath Thalaq: 2-3].

Duhai Allah...

Betapa kerasnya hati ini, tak sedikitpun ada rasa iba kepada mereka Ramadhan hanyalah perhentian sejenak lapar dan dahaga Lalu gundah gulana dan resah karena hawa nafsu terkekang selama hadirnya bulan mulia Ampuni kami yaa Allah...

Entahlah...

Entah dimana hati nurani ini berada, saat anak-anak kita sibuk membeli jajanan berbuka puasa, ibu sibuk memikirkan resep masakan hidangan berbuka untuk keluarga tercinta, sang ayah pun tak lupa menghitung bonus hari raya, sementara di jalanan masih banyak mata yang (mestinya) membuat kita iba. Bagi mereka setiap hari adalah puasa, sedangkan bagi kita (mungkin) puasa hanyalah bermakna 1 bulan saja.

Hari esok bagi mereka adalah sama, tak ada yang berubah, tetap lapar dan dahaga. Namun, esok bagi kita tentu penuh makna bahagia, kumpul bersama keluarga, menyantap beraneka-ragam hidangan berbuka puasa.Tak lupa sebelumnya sang ayah bertausyiah kepada seluruhanggota keluarga, 'Hmm... kita adalah contoh keluarga samara, sakinah, mawaddah wa rahmah.

'Yaa Allah... layakkah diri ini menyandang gelar manusia bertakwa?

Waktu berjalan hari pun berganti, trotoar jalan telah tampak bersih, wah... suasana kota tampak lebih indah untuk dinikmati. Hati berkata, janda tua dan anak-anaknya itu pun pasti sudah menikmati hari-hari bahagia di daerah transmigrasi. Yakin, karena pasti masih banyak orang lain (selain dirinya) yang peduli.

Sementara, lamat-lamat terdengar riuh tepuk tangan dari sebuah Rumah Tuhan, dan tampak wajah sang ibu peminta-minta tertawa senang sambil duduk di atas kursi roda melihat tingkah polah anak-anaknya yang tampak gembira sambil bernyanyi riang ... Aku anak Raja, Engkau anak Raja, kita semua adalah anak Raja / Halleluya, puji Tuhan, halleluya...

Astaghfirullah...

Wallahua'lam bi showab.

*IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA*

Al-Hubb Fillah wa Lillah,

Kado Ramadhan

Oleh : Aishliz

Sedikit tergesa-gesa, saya naiki tangga pintu keluar stasiun Tsukiji. Khawatir terlambat, saya lirik jam di pergelangan tangan. Alhamdulillah masih banyak waktu yang tersisa rupanya. Sudah dua bulan saya berkerja part time di salah satu perusahaan Jepang di daerah ini. Untuk menjaga citra baik sorang muslimah, kata terlambat sangat saya hindari.

Saya percepat langkah dengan merapatkan baju hangat mengusir angin dingin di musim gugur. "Hmm ... puasa hari ke dua di musim gugur," gumam saya.

Penasaran dengan penampilan, saya lirik kaca jendela mobil yang sedang terparkir. Sedikit saya rapikan jilbab dan gamis. Tiba-tiba, dari arah belakang, seseorang mencolek bahu saya. Saya palingkan wajah dengan memasang senyum malu.

"Mareeshia no kata desuka" (Orang malaysia ya)?, seorang ibu setengah baya bertanya.

"Bukan saya orang Indonesia," jawab saya masih dengan senyum malu.

Sedikit lega, ternyata yang mencolek bahu saya bukanlah pemilik mobil. Dari pertanyaan ringan tersebut, kami saling memperkenalkan diri dan bercerita penuh keakraban. Ibu yang bernama Mariko tersebut menjelaskan bahwa anak perempuannya sudah lima tahun bekerja di Malaysia. Saat melihat saya, Mariko-san, begitu saya panggil ibu itu, tiba-tiba teringat pada anaknya.

Dalam pembicaraan, tiba-tiba Mariko-san bertanya "Saya dengar hari ini bulan puasa, pasti terasa berat yah," ucapnya bersimpati.

"Wah dari mana ibu ini tau saya sedang shaum," pikir saya dalam hati.

Melihat perubahan wajah saya yang bingung Mariko-san segera menjelaskan. Putrinya yang berada di Malaysia minggu lalu mengabarkan, bahwa warga Malaysia yang mayoritas beragama Islam akan menjalankan puasa di pertengahan bulan Oktober ini.

Dengan bahasa sederhana saya jelaskan bahwa kami sebagai muslim tidak merasa berat menjalankan puasa. Karena dengan puasa akan lebih dapat mensucikan jiwa dan memberi kesempatan beristirahat bagi tubuh.

Mariko-san hanya mengangguk-angguk tanda setuju dengan wajah serius mendengarkan penjelasan saya. Sesekali dari mulutnya keluar kata, "Ooo, begitu."

Di akhir perjumpaan, kami saling bertukar nomor telepon dan alamat, sambil berjanji akan tetap saling berhubungan.

* * *

Tak terasa hari ini sudah memasuki hari ke lima Ramadhan. Alhamdulillah di bulan Ramadhan ini saya diberi keringanan oleh bagian personalia menggunakan waktu flexible time, dimana saya bisa datang lebih awal dengan waktu pulang lebih cepat.

Tiba di rumah saya siapkan ifthar (makanan untuk berbuka puasa) seadanya. Menungu waktu maghrib, saya putar nasyid Yusuf Islam & Friends sambil merebahkan badan di sofa, menghilangkan penat hari ini.

Tiba-tiba bell pintu apartemen berbunyi.

Saya lirik jam, "Hmmm masih jam setengah lima, tidak mungkin suami pulang kerja sebegini cepat".

Saya raih door phone, "Ya, siapa?"

"Saya Mariko, maaf datang tiba-tiba," jawab suara di luar pintu dengan sedikit kaku menyatakan permintaaan maaf.

Dengan diiliputi rasa kaget saya tutup door phone setelah meminta Mariko-san untuk menunggu sebentar. Saya segera berlari membuka pintu. Ketika saya sembulkan kepala, wajah ramah Mariko-san sudah menyambut dengan senyuman.

Saya sambut Mariko-san dengan riang sambil mempersilakan masuk. Tapi Ia menolak karena merasa tidak enak datang mendadak tanpa memberitahu lebih dahulu, katanya. Tiba-tiba Mariko-san mengeluarkan sesuatu dari dalam tas besarnya.

"Ini ada sedikit ala kadarnya, silakan dicicipi," ujarnya.

Melihat wajah kaget saya Mariko-san segera menjelaskan bahwa kirimannya itu sebagai hadiah untuk berbuka puasa.

"Alhamdulillah, terimakasih, saya terima dengan senang hati," ucap saya berbinar meski sedikit ragu apa isinya.

Membaca keraguan saya, Mariko-san segera menjelaskan bahwa makanan tersebut tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh agama saya - Islam.

Sebelumnya ia sudah banyak bertanya pada putrinya di Malaysia mengenai 'ramuan' apa saja yang tidak diperbolehkan bagi agama Islam.

* * *

Setelah Mariko-san pulang, saya buka kado kirimannya. Alhamdulillah, Subhaanallah satu kotak kue manju dan kue mochi. Berkali-kali saya bersyukur pada Allah diberikan kado tak terhingga di bulan Ramadhan ini serta dipertemukan dengan orang seramah Mariko-san di negara yang terkenal dengan sikap individunya.

Sambil memandang kotak-kotak hadiah tersebut, dalam benak saya teringat salah satu firman Allah yang berbunyi: " ... dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah niscaya akan mencukupkan keperluannya..." (QS 65:3)

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala amal shaleh sempurna. Ramadhan Kariim penuh berkah, rahmah dan maghfirah.

Catatan:
Tsukiji : nama stasiun disekitar Tokyo
Manju : kue dari bahan terigu berisi kacang hitam.
Mochi : kue dari bahan ketan manis.

Jumat, 26 Maret 2010

Apa Pantas Berharap Surga?

Oleh : Bayu Gautama

Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu. Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "Kalau tidak terlambat" atau "Asal nggak bangun kesiangan". Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?

Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.

Baca Qur'an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman?

Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.

Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?

Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.

Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?

Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?

Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?

Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang sejak kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan.

Astaghfirullaah ...

Aku Mau Tetap Jadi Guru, Bu...

Oleh : Rafifah

Sebening kaca hatimu ibu
Teduh sejuk menyimpan sejuta kasih
Kau ajak aku dalam hidupmu
Yang penuh rintangan

Kubersyukur terlahir kedunia ini melalui rahimmu
Kau ajari aku berdoa tuk setiap keluh dan kesah
Saat kuayun penaku ini, ku sedang mengulang ingatanku tentang kegembiraanku tadi
pagi bersama murid-muridku.

Hilang sudah rasanya penat seharian, kalau ingat muridku yang lucu-lucu.Terima kasih muridku, kau sungguh lucu. Kadang aku tidak bisa tidur hanya karena tiba-tiba ingat si Iman yang melucu.

Atau Salma yang selalu orasi, bak seorang orator ulung. Padahal menyebut huruf “R” saja belum jelas. Ah terlalu banyak kejadian yang mengesankan, Bu…

Kalau kutulis semua ibu lelah membacanya. Buku diaryku pun sudah ampun-ampun kalau kumulai menulis tentang anak-anak setiap malam menjelang tidur.

Tapi Bu, kusedih kalau ingat perkataan ibu. Sebenarnya sudah lama ibu katakan, mungkin sekarang ibu sudah lupa.Karena ibu sibuk organisasi.

Ibu pernah menyuruhku pindah profesi. Kalau ada yang tanya tentang pekerjaanku, ibu selalu menempelkan kata “cuma jadi guru”. Ah gadinya kecil tidak seberapa, apalagi ngajar Tk.

Tapi sungguh Ibu, menjadi guru menjadi cita-citaku sejak kecil. Masih ingatkah ibu, betapa senangnya aku mengumpulkan anak-anak tetangga.Lalu kuajari menyanyi, kuhibur mereka dengan aneka cerita, hingga tidak ada anak yang bersedih.Waktu itu kubayangkan ku jadi guru yang sayang pada murid-muridnya.

Sekarang tercapai sudah cita-citaku, Bu…

Aku jadi bu guru sekarang. Duh senang lho, Bu… Bagaimana tidak hatiku selalu terhibur oleh lucunya anak-anak. Kadang rasa sakit bulananku bisa hilang, karena kulupa. Hatiku terhibur oleh suara anak-anak yang bersenandung.

Aku jadi semangat belajar semua ilmu. Kalau anak muridku tanya sesuatu, aku sudah tahu. Malu khan kalau bu guru selalu jawab tidak tahu. Apalagi anak-anak muridku senang bertanya ini itu.

Ada sebuah tulisan bagus yang pernah kubaca, siapa yang mengajarkan kebaikan, maka semua makhluq Allah akan memintakan ampun, hatta ikan yang ada di laut.

Aku mau tetap mau jadi guru, Bu… sampai maut menjemputku.

Kamis, 25 Maret 2010

Alasan Cowok Ninggalin Ceweknya

Bagi kamu yang perempuan, pernah kecewa? Atau mengecewakan?
Survei membuktikan hampir 90% wanita sering dikecewakan oleh para pria, alasannya banyak.
Berikut ini ada beberapa hal yang bikin cowok sering ninggalin ceweknya;

1. Kurang Diperhatiin
Cowok mana sih yang mau kalo ceweknya kurang perhatian?
Ngga cuma cewek aja yang minta diperhatiin, beberapa cowok juga ternyata butuh perhatian dari ceweknya, apakah itu hal kecil atau hal yang besar sekalipun. Misalnya cowok pengen dikasih perhatian saat jam makan siang melalui telepon atau kirim sms singkat ”udah makan?”, atau rambutnya yang keliatan kurang rapi pengen juga tuh dirapihin sekali-kali, asal jangan dibawa ke salon ya..itu sih bukan ceweknya yang ngerapihin...
Kalo kamu salah satu tipe cewek yang pengennya cuma diperhatiin tanpa mau ngasih perhatian ke cowoknya, jadi siap-siap aja cowok kamu bete ’n ninggalin kamu. Eitt, tapi ada juga lho cowok yang sukanya cuma ngasih perhatian buat ceweknya tanpa minta pamrih karna semata-mata pengen ceweknya bahagia, tapi cowok kayak gitu jarang ditemukan.

2. Cewek Egois (mementingkan diri sendiri)
Cewek yang egois, jauh-jauh deh. Soalnya dia hanya mementingkan dirinya sendiri, maunya diperhatiin sama cowoknya tapi ngga mau ngasih perhatian ke cowoknya, pengennya ditelpon ngga mau nelpon, pengennya dijemput on time tanpa ngertiin kalo dijalan macet atau ada halangan lain, pengennya....
Pokoknya macem-macem banyak maunya. Biasanya cewek kayak gini sering ganti ganti pasangan nih..

3. Cowok Play Boy
Salah satu cowok yang ninggalin ceweknya bukan karena masalah di ceweknya, ternyata ada cowok yang error mau ninggalin ceweknya karena ada cewek lain, atau selingkuh?
Cewek mana yang mau dimadu? Hanya 1001 wanita yang mau cintanya dibagi ke orang lain.
Cinta segitiga itu memang biang permasalahan dalam pacaran maupun rumah tangga, apakah itu karna ceweknya atao cowoknya. Hal ini ngga bisa dipungkiri, cewek juga ada yang play girl, tapi masih kategori JARANG.
Namanya manusiawi, ngga pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Maunya enak, maunya lebih, maunya cakep, maunya....
Padahal satu saja sudah cukup, tinggal bagaimana bisa mengaturnya.

4. Over protect
Biasanya yang kayak gini kebanyakan ada pada cowok, tapi ada pula cewek yang tipe over protect. Ngga boleh gini, ngga boleh gitu...apa-apa ngga boleh, kayak orang tuanya aja. Mau pergi kemana-mana harus bilang, paling ngga telpon atau sms. Pergi sama siapa juga harus bilang. Siapa sih yang mau begitu? Memang itu salah satu bentuk perhatian, tapi terlalu berlebihan. So, kamu pih yang mana? Pasti lah ngga mau semuanya?

5. Posesif
Yang ini juga kebanyakan cowoknya, tapi ngga jarang juga cewek posesif sama cowoknya. Ciri-cirinya hampir sama dengan cewek yang over protect, bedanya yang ini maunya ikut kemana-mana cowoknya pergi. Ribet ngga tuh diikutin kayak ekor aja ya.
Siapa sih yang betah bertahan dalam kehidupan dengan cewek yang kayak gini?

Bagi kamu perempuan, seharusnya lebih instropeksi diri kalau kamu berada di posisi dikecewakan. Jangan hanya bisa klaim ke cowok seolah-olah akar masalah ada pada cowok.
Nah, dari sekarang coba untuk menjadi cewek yang perhatian, kasih sayang, menerima dengan apa adanya, mungkin dengan ini akan menjadi pasangan yang always live.

Minggu, 21 Maret 2010

Rahasia Kecantikan!

Pengen dong tubuh kamu tampil cantik dan mempesona?
Cari menu andalan kamu yang bisa bikin badan tetap langsing dan sehat.
Apa sih ciri utama tubuh yang sehat 'n cantik?

Menurut ahli yang punya ahli, katanya sih tubuh yang sehat dan cantik itu ngga harus putih dan mulus, tapi kamu harus tau yang ini;kulit terlihat berkilau dan tidak kusam (bukan berkilau dikasih minyak lho..),tapi kulit yang sehat itu kulit yang tidak kering dan terjaga kelembabannya, rambutnya juga terlihat berkilau dan lembab, kuku selalu kuat dan tidak mudah patah.Nah, sekarang udah tau kan kulit sehat tuh yang gimana??
kalo udah tau sekarang adalagi nih tipsnya supaya tubuh kamu tetap cantik dan mempesona, kamu harus konsumsi menu yang ini;

1. Air Mineral
Pasti tau kan air mineral tuh apa?Meskipun cuma air putih (bukan warnanya putih), tapi banyak sekali manfaatnya bagi tubuh kamu. Hampir lebih dari 70% tubuh kamu terdiri dari air (sisanya...), bahkan beberapa bagian penting dalam tubuh sangat tergantung pada air, misalnya ginjal. Fungsinya sangat penting bagi kehidupan kamu, karena ginjal dapat mengeluarkan racun-racun dalam tubuh dengan bantuan air mineral. Coba bayangkan, seandainya kamu ngga punya ginjal? mungkin beribu-ribu lapisan racun dan zat-zat lainnya bertumpuk di dalam tubuh kamu, trus banyak penyakit yang bersarang di tubuh kamu karna ngga ada ginjal. Betapa hebatnya ciptaan Alloh yang dengan kesempurnaannya Dia mengatur semua organ-organ didalam tubuh dilengkapi dengan semua fungsinya.Nah, jadi jangan sekali-kali kamu meremehkan air mineral. Memang sangat simple, tapi merupakan obat yang paling alami dan sangat ekonomis.Sekarang coba kamu hitung, berapa kali kamu mengkonsumsi air mineral setiap hari?

2. Ikan Salmon, Buah Alpukat
Jenis makanan ini mengandung asam lemak omega 3 yang fungsinya mencegah peradangan pada tubuh yang juga sangat berpengaruh pada kulit. Jika terjadi peradangan didalam tubuh, maka akan semakin cepat proses terbentuknya garis kerut pada kulit dan penuaan dini.Kalo kamu pengen mencegah hal tersebut, salah satunya kamu harus mengkonsumsi kedua makanan itu agar kulit kamu tetap terjaga dan awet muda.Tidak terlalu sulit kan untuk mengenali jenis makanan ini?

3. Kacang-kacangan
Zat yang terkandung didalamnya dapat membantu kekuatan kulit dan rambut kamu. Karena didalamnya mengandung zat Biotin. Jika didalam tubuh kamu kekurangan zat ini, maka yang terlihat rambut kamu akan mudah rontok, kuku mudah patah dan kulit tidak halus.Ngga pengen kan rambut, kulit dan kuku kamu rusak? Cobalah merawatnya dari sekarang dengan banyak mengkonsumsi menu tersebut.

4. Melon dan Berry
Apakah kamu tergolong orang yang hipertensi? atau darah tinggi?Jangan susah-susah, dengan buah Melon yang kadar glukosanya rendah kamu bisa mengkonsumsi buah ini. Selain itu buah ini juga dapat membantu menjaga kekencangan kulit, karena efeknya sangat bagus bagi insulin dalam tubuh.Jadi, kalo kamu pengen tampil cantik dan sehat, tunggu apa lagi?dapatkan segera menu-menu tersebut.